Rumus Istilah Dalam Madzhab Imam asy Syafi'i



Mempelajri fikih syafiiyah, belum lengkap rasanya sebelum mengetahui sejarah, rumus, istilah, dan isyarah-isyarah yang diguna- kan oleh para fuqoha, bagi para pengkaji fikih hal ini merupakan keharusan.
a.    Muassis Madzhab

Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang miskin. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’i, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i),- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’i sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah Saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.[1]

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath (menggali hukum).

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Beliau di bawa ke Mekah di usia dua tahun, menghafal Al Quran di usia 7 tahun dan menghafal muwatho’ di usia 10 tahun.  Beliau, Imam Syafi’i menuntut ilmu kepada Al Imam Kholid Bin Muslim Azzanji (mufti Mekah), Fudail Bin Iyad, Sufyan Bin Uyainah, dan masyayih lainnya.
Kemudian beliau pindah ke Madinah saat itu umur beliau 12 tahun dan beliau menghafalkan kitab Muwatho’ dalam waktu 9 hari, yaitu untuk mempersiapkan diri berguru kepada Imam Malik. Kemudian beliau berguru kepada Imam Malik sampai menjadi murid yang paling pandai di antara murid-murid Imam Malik lainnya. Di umur 15 tahun beliau Imam Syafi’i sudah diberi izin untuk berfatwa bersamaan dengan pengetahuan beliau dengan syi’ir-syi’ir Arab, dan ilmu lughot. Sampai Al Asmu’iy seorang perawi syi’ir-syi’ir Arab berguru kepada beliau syi’ir-syi’ir  Qobilah Hudail

Kemudian beliau pindah ke Yaman dan berguru kepada Muthorif bin Mazan, Hisyam bin Yusuf Al Qody, Umar bin Abi Salmah, Yahya bin Hassan. Kemudian pindah ke Iraq dan berguru kepada Waqi’ bin Jaroh, Al Hasan As Saibani, Hammad bin Usamah, Ayub bin Suwaid Ar Romli, Abdul Wahab bin Abdilmajid, dan Ismail bin Ulaiyah. Beliau, Imam Syafi’i mengarang kitab Al Hujjah yang di dalamnya terkumpul Qoul Qodim.

Banyak imam-imam besar yang berguru kepada beliau, seperti al Imam Ahmad bin Hanbal dan al Imam Abi Sa’ur. Kemudian beliau pindah ke Mesir dan di sana banyak ijtihad- ijtihad beliau dalam beberapa masalah yang hasilnya berbeda dengan qaul qadimnya, dan ini yang dikenal dengan qoul jadid. Dan beliau juga mengarang kitab al Umm dan ar Risalah dan dengan karangan ar Risalah, beliau menjadi muassis dari ilmu ushul fiqh.[2]

Beliau mempunyai gelar Nasiru As Sunah Wa Ad Din. Imam Syafi’i merupakan imamnya para imam, beliau lebih unggul di dalam ilmu, amal, wira’i, zuhud, ma’rifat, cerdas, hafalan, dan nasabnya dari orang-orang sebelumnya bahkan guru-guru beliau. Imam Syafi’i pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw, kemudian beliau diberi timbangan, dan dari mimpinya tersebut dita’wil bahwasanya madzhab Syafi’i-lah madzhab yang  moderat (tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah). Seperti yang telah disepakati oleh sebagian auliya’ yang pernah di dalam mimpinya bertemu dengan Allah SWT kemudian menanyakan:
بأي المذاهب أشتغل؟ فقال له: مذهب الشافعى نفيس
Ya Robb, dengan madzhab apa, aku tersibukkan? Allah Swt.  menjawab: madzhab Syafi’i bagus.

Imam Syafi’i wafat pada hari Jum’at akhir bulan Rajab 204 H. Beliau dimaqamkan di Qorofah. Setelah beberapa waktu dikehendaki maqam beliau akan dipindahkan ke Baghdad, namun digagalkan karena saat digali kuburnya tercium bau wangi.[3]

Beliau, Imam Syafi’i membagi malam menjadi 3 waktu: sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk sholat, dan sepertiga sisanya untuk tidur.

Beliau selalu mengkhatamkan Al Qur’an satu kali dalam satu harinya dan 60 kali di bulan Ramadhan dan semuanya beliau baca di dalam sholat.

Imam Syafi’i berkata:
ما شبعت منذ ست عشرة سنة، لانه يثقل البدن ويقسي القلب ويزيل الفطنة ويجلب النوم ويضعف صاحبه عن العبادة

 Aku tidak pernah kenyang mulai umur 16 tahun, karena kenyang memberatkan badan, membuat hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, menarik untuk tidur, dan melemahkan ibadah.

Imam Ahmad berkata:
كان الامام الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للبدن
 Imam Syafi’i seperti matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi badan.
كان الفقه قفلا على أهله حتى فتحه الله بالشافعي
Ilmu fiqih telah terkunci sehingga Allah Swt. membu- kanya dengan Imam Syafi’i.[4]

Imam Syafi’i menikahi Sayyidah Hamidah binti Nafi’ cicit Ustman bin Affan setelah Imam Malik meninggal pada tahun 197 H. Kira-kira umur beliau 30 tahun. Beliau mempunyai seorang putra yaitu Abu Utsman Muhammad, dan 2 orang putri yaitu Fathimah dan Zainab. Dan dari jariyah (budak perempuan), beliau mempunyai seorang putra yaitu Hasan bin Muhammad bin Idris, namun meninggal saat masih kecil.

Catatan: 
Imam Syafi’i telah mencabut Qoul Qodim, sehingga ulama sepakat tidak memperbolehkan menggunakan Qoul Qodim, kecuali 17 masalah yang tetap diperta-hankan oleh  ulama. Malah dalam kitab Bujairimi ‘Ala Khotib juz 1 hlm. 48, ada 20 masalah yang tetap dipertahankan dan dibuat pijakan hukum oleh ulama. Sebagian masalah dari Qoul Qodim yang masih dipergunakan oleh sebagian ulama: (1) Tidak wajib menjauh dari najis pada air yang tidak mengalir atau tidak wajib menjauh dari najis di dalam air yang telah mencapai dua qullah (174,580 liter/kubus ukuran             + 55,9 cm). (2) Sunnah mengucapkan taswib (الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ) pada adzan. Baik adzan pertama atau kedua. (3) Wudlu tidak batal dengan menyentuh mahrom. (4) Air mengalir yang terkena najis, tetap suci apabila tidak berubah. (5) Bersuci pakai batu tidak cukup apabila air kencing menyebar ke mana-mana. (6) Sunnah melak- sanakan sholat isya’ awal waktu. (7) Waktu sholat maghrib tidak habis dengan sholat 5 rakaat  (berakhirnya waktu maghrib sampai hilangnya mega yang berwarna merah). (8) Makmum tidak disunnah- kan membaca surat pada rakaat ke-3 dan 4 (ini khusus untuk orang yang pertama melakukan sholat dengan cara sendirian, kemudian dia niat berjamaah karena ada sholat jamaah). (9) Makruh memotong kuku mayit. (10) Tidak memandang nishob dalam harta karun. (11) Syarat takhallul (mencukur rambut) pada haji dengan udzur sakit. (12) Haram memakan kulit bangkai yang telah disamak. (13) Sayyid (tuannya budak) wajib dihad (dihukum), karena menyetubuhi mahrom yang menjadi budak. (14) Diperbolehkannya persaksian anak atas orang tua. (15) Sunat bagi makmum mengeraskan bacaan amin dalam shalat jahriyyah (shalat yang disunatkan mengeraskan bacaan). (16) Sunat membuat tanda batas dalam shalat ketika tidak ada pembatas di depannya. (17) Diperbolehkan bagi orang yang melakukan shalat tidak berjama’ah, untuk niat makmum di tengah-tengah pelaksanaan shalatnya. (18) Ahli waris boleh mengqodlo`i puasa keluarganya yang meninggal dunia. (19) Boleh memaksa syarik (orang yang mempunyai hak bersama) untuk membangun dan merehab barang yang rusak. (20) Mahar (mas kawin) yang belum diserahkan kepada istri ketika rusak harus diganti dengan dlomanul yad (ganti yang ditetapkan syara’), artinya kalau barang tersebut termasuk mitsli (bisa ditimbang atau ditakar) wajib diganti dengan barang sejenis, kalau mutaqawwam (yang dihargai) wajib diganti dengan harga standar.[5]

Ulama yang meriwayatkan  Qaul Qodim Imam Syafi’i adalah: Imam Ahmad bin Hanbal, Al Karobisi, Azza’faroni, dan Abu Sa’ur. Sedangkan perowi Qoul Jadidnya adalah:  Al Muzani, Al Buwaity, Ar’ Robi’ Al Jaizi, dan Robi’ bin Sulaiman Al Murodi.[6]

b.   Gambar Sanad Kitab Mazdhab Syafi’iyah




c.    Pengarang Kitab Taqrib[7]
Abu Syuja’ (433-593/1042-1196) 
Syihab al-Dunya wa ad-Din Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Asfahani al-Syafi’i, populer dengan panggilan Abu Syuja’, berasal dari Isfahan, salah satu kota di Persia, Iran. Ia dilahirkan di Bashrah pada tahun 433 H/1042 M. Pernah menjabat sebagai menteri pada Dinasti Bani Saljuk tahun 447 H/1455 M, sehingga dikenal dengan julukan Syihabuddunya waddin (bintang dunia dan agama). Di saat itu ia dapat menyebarluaskan agama dan keadilan. Kebiasaannya, beliau tidak pernah keluar rumah sebelum shalat dan membaca al-Qur’an sedapat mungkin.
Dalam urusan kebenaran, ia tak pernah gentar akan caci maki, hujatan, dan kecaman dari siapapun, baik pejabat atau penjahat. Ketika menjabat sebagai menteri, Abu Syuja’ sangat dermawan. Ia mengangkat sepuluh orang pembantu untuk membagi-bagikan hadiah dan sedekah. Mereka diserahi seratus dua puluh ribu dinar. Uang sebanyak itu dibagi-bagikan kepada para ulama dan orang-orang yang saleh.
Abu Syuja’ adalah pakar fikih mazhab Syafi’i. Di Bashrah, ia mendalami mazhab fikih yang dipelopori Imam Syafi'i selama empat puluh tahun lebih, sehingga beliau menjadi pakar fikih madzhab Syafi’i. Pada akhir usianya, ia memilih untuk hidup dalam kezuhudan. Seluruh hartanya dilepas dan ia pergi ke Madinah. Menyapu, menghampar tikar, dan menyalakan lampu Masjid Nabawi, merupakan aktivitas rutinnya setiap hari. Setelah salah seorang pembantu Masjid Nabawi meninggal dunia, Abu Syuja’ mengambil alih tugas-tugasnya. Rutinitas ini beliau jalani sampai ajal menjemputnya pada tahun 593 H/1166 M.
Abu Syuja’ meninggal di Madinah. Jenazahnya dimakamkan di masjid yang ia bangun sendiri di dekat Bab Jibril, sebuah tempat yang pernah disinggahi malaikat Jibril. Letak kepalanya berdekatan dengan kamar makam Nabi Saw. dari sebelah timur.
Allah Swt. menganugerahkan usia panjang kepada tokoh besar ini. 160 tahun lamanya ia menghirup udara dunia. Akan tetapi, dalam jangka waktu yang sangat panjang itu, tak satupun dari anggota tubuhnya yang cacat. Ketika ditanya mengenai rahasianya, beliau menjawab: “Aku tidak pernah menggunakan satupun dari anggota tubuhku untuk bermaksiat kepada Allah. Karena pada masa mudaku aku meninggalkan maksiat, maka Allah menjaga tubuhku di usia senja.”
Penjelasan riwayat hidup Abu Syuja’ yang diurai di atas disebut dalam beberapa kitab syarah Fath al-Qorib dan dikuti oleh beberapa orang. Tampaknya, semua sepakat bahwa Abu Syuja’ lahir pada tahun 433 H. Tapi, mengenai tahun wafatnya masih diperselisihkan oleh beberapa kalangan ulama. Yang menarik, Imam al-Bajuri menyebutkan bahwa Abu Syuja’ wafat pada tahun 488 H. Padahal dalam redaksi lainnya, ia menyebut persis seperti pesyarah yang lain. Haji Khalifah dalam Kasyf az- Zhunun menuturkan bahwa Abu Syuja’ meninggal pada tahun 488 H.
Dalam pernyataan bahwa Abu Syuja’ pernah menjabat sebagai wazir pun masih perlu diselidiki kebenarannya. Sumber-sumber kitab sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu memang ada seorang wazir berjuluk Abu Syuja’. Ia dikenal adil dan alim. Ia juga mengarang kitab Takmilah li-Kitab Tajarid al-Umam karya Ibnu Maskawaih. Ia juga bermazhab Syafi’i dan berguru pada Syekh Abu Ishaq as-Syirazi di Baghdad. Disebutkan pula bahwa ia terlahir pada tahun 437 H dan wafat pada 488 H. Tahun wafat itu sama dengan yang dsebut oleh al-Bajuri dan Haji Khalifah. Di sinilah timbul kekaburan.
Namun Abu Syuja’, sang wazir itu tidak bernisbah al-Isfahani. Nisbahnya adalah ar-Rudzarawari. Nama-nya pun berbeda. Sang wazir itu bernama Muhammad al-Husain bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim. Sedang Abu Syuja’, pengarang Taqrib, bernama Ahmad bin al-Husain bin Ahmad bin al-Isfahani. Hanya saja, kedua orang itu bertepatan berkun-yah sama yaitu Abu Syuja’. Dalam kitab-kitab sejarah juga disebutkan bahwa Abu Syuja’, sang wazir Dinasti Abbasiyah, wafat di Madinah. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa kedua orang itu berbeda.
Mungkin saja para pesyarah fath al-Qorib seperti al-Bajuri, Syek Nawawi Banten, dan Majid al-Humawi ikut pada al-Bujairimi yang salah sadur dari ad-Dairobi. Yang lebih baik adalah mempercayai apa yang ada dalam Thabaqat as-Syafi’iyah karya as-Subki dan Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah yang menyebut keduanya terpisah dan berbeda.
Ghayah al-Ikthishar yang dikarang oleh Abu Syuja’ termasuk karya terindah mengenai pokok-pokok fikih. Kitab yang lebih dikenal dengan sebutan Taqrib ini, mencakup permasalahan yang luas meskipun ben-tuknya kecil. Seorang ulama mengubah bait-bait syair, memuji Abu Syuja’ dan karya monumentalnya, Ghayah al-Ikhtishar, yang lebih populer dengan sebutan Taqrib. Salah satu syair yang memuji beliau sebagai berikut :
Wahai yang menghendaki faidah berkesinambungan
Demi peroleh keluhuran dan kemanfaatan
Dekatilah ilmu-ilmu itu
Jadilah kau pemberani
Dengan Taqribnya (pendekatan) Abi Syuja’ (bapak para pemberani).
Karena padat dan pentingnya isi kitab ini, para imam berpacu mensyarahi, mengomentari, memberi catatan kaki serta merumuskannya dalam bait-bait nadzam. Di antaranya syarah-syarah tersebut ialah:
d.   Syarih (Orang Yang Menyarahi) Kitab Taqrib

Ibnu Qosim Al-Ghozi (859 H-918 H)
Nama lengkap beliau adalah Assyaikh Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim Al-Ghozi lahir pada tahun 859 H di  kota Ghuzah yang menjadi bagian dari wilayah Syam. Beliau mengembara menuntut ilmu di Kairo, Mesir tepatnya di jami’ah Al-Azhar dan kemudian mengembangkan ilmu dan mengajar di Al-Azhar hingga bermukim di sana dan melahirkan karya-karyanya seperti halnya Syarh Fathul Qorib. Di sini pula beliau wafat pada tahun 918 H.
Dari tahun kelahiran dan wafatnya kita bisa tahu bahwa beliau hidup setelah masa Imam Rofi’i dan Imam Nawawi, namun sebelum era Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli. Nafa’ana Allahu bihi wabi’ulumih amin.

Catatan:
Selain Fathul Qorib, masih banyak syarah-syarah kitab Taqrib yang lain. Di antaranya yang banyak dijumpai di lingkungan pesantren adalah: Kifayatul Akhyar karya Imam Taqyuddin Al-Hishni, Al-Iqna’ karya Imam Khotib As-Syirbini (W. 977 H).

Kelebihan kitab taqrib di antaranya:
1-     Kelengkapan isi
Dalam bentuknya yang sangat kecil memuat hampir semua kandungan fiqih dari mulai ibadah, mu’amalah, nikah, sampai jinayat dan lain sebagainya. Sementara Fathul Qorib melengkapi kelebihannya dengan memberikan ta’rif pada hampir semua bab dari thoharoh sampai ‘itq mulai dari tinjauan lughot sampai syara’.

2-     Paparan manhaj/metodologi
Jarang kita temukan kitab yang memaparkan manhaj seperti yang sering dilakukan Imam Nawawi dalam karya-karyanya. Ada beberapa manhaj yang disebutkan mushonnif dalam menyusun taqrib, di antaranya:
-    sangat simpel dan singkat (ghoyatil ikhtishor)
-    bahasanya sederhana (mudah dipelajari dan dihafal)
-    banyak pasal-pasal (iktsar taqsimat)
-    batasan dengan angka (hasril khishol)

Dari paparan itu, bisa dimaklumi bila kalimat-kalimat dalam kitab tersebut terkadang menggunakan arti yang longgar tidak sebagaimana dalam istilah fiqih. Seperti penyebutan air mutanajjis dengan air najis pada bab pertama, yang kemudian diikuti Ibn Qosim yang menyebut a’yan mutanajjisah yang mestinya a’yan najisah. Pembatasan komponen selalu dilakukan dengan angka mesti terkadang kurang tepat masih ada yang terlewatkan seperti dalam pembahasan sunah-sunah wudhu sehingga biasanya kemudian Ibn Qosim menjelaskan bahwa hal-hal lain masih banyak seperti disebut dalam kitab-kitab yang besar.
3-      Tidak terikat pendapat mayoritas
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah tentang niyyatul khuruj atau niat keluar dari sholat pada saat salam dikategorikan rukun, mabit mina dan muzdalifah bukan wajibat haji akan tetapi sunah. Yang demikian bisa kita maklumi karena Abi Syuja’ hidup sebelum Nawawi, beliau mengambil dari mutaqoddimin dan ashabil wujuh, di mana temuannya dalam hal ini sama dengan Imam Rofi’i. Sekali lagi, Ibn Qosim punya andil penting di mana kemudian memberikan penjelasan pendapat yang kuat dalam madzhab.


e.    Istilah –Istilah Dalam Madzhab[8]

1.       (الإمام) yang dimaksud di sini adalah Imam Haromain Al-Juwainy, Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf, wafat pada tahun 478 H.
2.       (القاضي) yaitu Husain Abu Ali Muhamad bin Ahmad Al-Maruzy, wafat pada tahun 462 H.
3.       (القاضيان) yang dimaksud di sini ada dua orang, yaitu :
a.          Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardy, wafat pada tahun 450 H.
b.         Abdul Wahid bin Ismail bin Ahmad Ar-Ruyani, wafat pada tahun 501 H.
4.       (الشيخان), yaitu :
a.         Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Ar-Rofi’i, Abu Qosim Al-Quzuwainy, wafat pada tahun 634 H.
b.         Yahya bin Syarf Abu Zakaria An-Nawawy, wafat pada tahun 677 H.
5.       (الشيوخ) yaitu An-Nawawi, Ar-Rafi’i, dan Taqiyuddin.
6.        (الشارح) jika yang disebutkan (الشارح المحقق) maka dia adalah Jalaluddin Al-Mahaly Muhamad bin Ahmad bin Ibrahim, wafat pada tahun 864 H. Akan tetapi di dalam  (شرح الإرشاد) jika disebutkan (الشارح) maka yang dimaksud adalah Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Qohiry Syamsuddin, wafat pada tahun 889 H.
7.        (شيخنا، أو الشيخ، أو شيخ الإسلام) maka yang dimaksud adalah Zakaria bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshory wafat pada tahun 926 H.
8.        (شيخي) jika Khotib As-Syirbini mengucapkan istilah ini maka yang dimaksud di sini adalah Asy-Syihab  Ahmad bin Ahmad Ar-Romly, wafat pada tahun 971 H.
9.       Jika Syaikh Asy-Syirozi menyebutkan Abu Abbas dalam kitab (المهذب) maka yang dimaksud di sini adalah Ahmad bin Syuroij, wafat pada tahun 306 H.
10.   Jika dalam kitab (المهذب) Abu Ishaq maka dia adalah Al-Muruzy Ibrohim bin Ahmad muridnya Ibnu Syuroj, wafat pada tahun 340 H.
11.   Jika dalam kitab (المهذب) Abu Sa’id maka dia adalah Al-Ishthohkry Abu Sa’id Al-Hasan bin Ahmad, dia dan Ibnu Syuroj adalah Syaikhnya Imam Syafi’i, wafat pada tahun 328 H.
12.   (ابو حامد) ada dua orang yang dimaksud di dalam kitab (المهذب) yaitu:
a.         Al-Qhodhy Abu Hamid Al-Muruzy Ahmad bin Basyr bin ‘Amir, wafat pada tahun 362 H.
b.         Syaikh Abu Hamid Al-Isfiroyainy Ahmad bin Muhammad, wafat pada tahun 406 H.
13.   (أبو القاسم) di dalam buku (المهذب) ada empat orang yang dimaksud yaitu Al-Anmathy, Ad-Daraky, Ibnu Kaaj, As-Shoymiry.
14.   (أبو الطيب) dalam kitab (المهذب) ada dua orang dari Fuqoha’ Syafi’iyyah yaitu: Ibnu Salamah dan Al-Qhodhy Abu Thoyyib.
15.   Jika disebutkan dalam kitab (المهذب) kata -الربيع- maka dia adalah Ar-Robi’ bin Sulaiman.
16.   Imam Nawawi berkata:
a.         (المحمدون الأربعة) mereka adalah :
Ø  Muhammad bin Nashr Abu Abdullah Al-Muruzy wafat pada tahun 294 H.
Ø  Muhammad bin ibrohim bin Mundzir, wafat pada tahun 310 H
Ø  Muhammad bin Jarir At-Thobary wafat pada tahun 310 H.
Ø  Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, wafat pada tahun 311 H.
b.         (الأصحاب) yaitu mereka orang-orang terdahulu yang sezaman yang mereka berjumlah 400 orang karena mereka berada pada kurun khoiriyah (terbaik).
c.         (المتأخرون) yaitu mereka yang hidup setelah abad keempat, dikatakan juga mereka yang hidup setelah periode dua syaikh, yaitu An-Nawawi dan Ar-Rafi’i.

f.     Rumus-Rumus Catatan Kecil[9]
Para madzhab Syafi’i dan yang lainnya menggunakan rumus-rumus tertentu, di antara rumus-rumusnya sebagai berikut :
1.       ( مر ) maksud di sini adalah Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Ar-Romly pengarang (نهاية المحتاج), wafat pada tahun 1004 H.
2.       (الشهاب م – ر) yang dimaksud adalah Syaikh Ahmad bin Hamzah Ar-Romly muridnya Syaikh Zakaria Al-Anshory dan anak dari Muhammad Ar-Romly As-sabiq wafat pada tahun 971 H.
3.       (خ – ط) kode ini menunjukkan kepada Syaikh Muhammad bin Ahmad As-Syirbini yang dikenal dengan Al-Khotib Asy-Syirbini pengarang  -- مغني المحتاج  wafat pada tahun 977 H.
4.       (حج) yang dimaksud di sini adalah Al-‘Allamah Asy-Syihab Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitamy, pengarang  -  تخفة المحتاج- wafat pada tahun 974 H.
5.       (زي) yang dimaksud di sini adalah Syaikh Ali bin Yahya Az-Ziyad , wafat pada tahun 1024 H.
6.       (سم) yaitu Syaikh Al-‘Allamah Ahmad bin Qosim Al-Ibady, wafat pada tahun 994 H.
7.        (طب) yaitu Syaikh Muhammad Manshur Ath-Thiblawy wafat dan lahirnya di Qohiroh, wafatnya pada tahun 1014 H.
8.       (ح – ل) yaitu Syaikh Ali bin Ibrohim Al-Halby pengarang - - السيرة الحلية  wafat pada tahun 1044 H.
9.       (س – ل) yaitu Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Mazahy wafat pada tahun 1075 H.
10.   (ع – ش) yaitu Syaikh Ali bin Asy-Syubromilisy wafat pada tahun 1087 H.
11.   (ب – ر) yang dimaksud di sini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Dayim Al-Barmawy, wafat pada tahun 831 H.
12.   (ع – ن) yaitu Syaikh Muhammad bin Daud Al-Ghonany, wafat pada tahun 1098 H.
13.   (أ – ط) yaitu Syaikh Al-Athfihy.
14.   (ج) yaitu Syaikh Alwi bin Saqof Al-Jafri, wafat pada tahun 1335 H.
15.   (ي) yang dimaksud adalah Syaikh Abdullah bin Umar bin Yahya.
16.   (ك) yaitu Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al-kurdy, wafat pada tahun 1194 H.
17.   (ح – ض) yaitu Syaikh Hadr Asy-Syaubiry.
18.   (م – د) yaitu Syaikh Muhammad Al-Madabaghi.
19.   (أ – ج) yang dimaksud adalah Syaikh Athiyah bin Athiyah Al-Ajhury, wafat pada tahun 1190 H.
20.   (ح – ف) atau (حف) yaitu Syaikh Muhammad bin Salim bin Ahmad Al-Hafnawy atau Al-Hafany Syamsuddin, wafat pada tahun 1181 H.
21.   (ب – ج)  yaitu Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimy, wafat pada tahun 221 H.
22.   (با – ج)  yaitu Syaikh Ibrohim bin Muhammad Al-Bajury Syaikh Al-Azhar, wafat pada tahun 1277 H.
23.   (ش – ق)  yaitu Syaikh Abdullah bin Hajazy Asy-Syarqowy wafat pada tahun 1228 H.
24.   (حميد) atau (عبد) yaitu Abdul Hamid bin Ad-Daghostany.
25.   (ق – ل) yaitu Syaikh Ahmad bin Isa Al-Qulyuby, wafat pada tahun 689 H.

g.    Isyarah-Isyarah Fuqoha’[10]
No
Nama sighot
Keterangan
1
محتمل jika dimutlaqkan
Merupakan pendapat yang rojih dengan memakai arti قريب, apa- bila diterangkan bahwa  محتمل berupa isim maf’ul.
Merupakan hanya sebuah ke- mungkinan saja, bila diterang- kan bahwa محتمل berupa isim fa’il.
Bila tidak diterangkan apakah maf’ul ataukah fa’il maka supaya melihat kitab-kitab para ulama’ sampai menjadi jelas.
2
محتمل jika tidak dimutlaqkan
محتمل berupa isim maf’ul bila ber- ada setelah sebab-sebab tarjih seperti كل
Berupa isim fa’il bila berada setelah sebab-sebab  tadl’if /me-lemahkan
3
الاشكال

Ketidak jelasan apa yang dimak-sud, yang tidak ditemukan ke-cuali dengan nadzor (berfikir).
4
الاستحسان

Dalil yang jelas di hati mujtahid yang sulit diutarakan dengan ka-ta-kata.
5
النظر

Geraknya akal dalam perkara yang dapat diakal, hingga dapat menimbulkan suatu keyakinan atau sangkaan.
البحث, الاشكال,  الاستحسان dan  النظر tidak bisa mengalahkan المنقول .
6
المفهوم
Kepahaman lafadz di luar ben-tuk asli apa yang diucapan.
المفهوم tidak bisa menolak الصريح dan  المنطوق .
7
المنطوق
Kepahaman lafadz di dalam ben-tuk asli apa yang diucapan.
8
الاختيار
Pendapat yang dihasilkan dari dalil-dalil asal dengan cara ijti-had tanpa nuqil dari pemilik madzhab (Imam Syafi’i).
Ket: الاختيار tidak bisa dibuat pe-gangan, kecuali الاختيار yang ada di dalam kitab Ar Raudloh kare-na yang di Ar Raudloh memakai arti الاصح dalam madzhab
Para Imam Madzhab Syafi’i ba-nyak sekali yang mempunyai ikhtiyar yang tidak sama dengan Madzhab Syafi’i, mereka meng-gunakannya karena sulitnya me-makai Madzhab Syafi’i, tapi ke-tika ditahqiqkan ikhtiyar-ikh-tiyar tersebut tidaklah keluar dari Madzhab Syafi’i karena itu merupakan hasil istinbath, qi-yas, ikhtiyar dari qoidahnya Imam Syafi’i, qoul qodim atau dalil yang shohih.
9
اصل الروضة

Ibarot Imam Nawawi dalam ki-tab Raudloh hasil ringkasan dari Fathul Aziz.
10
زوائد الروضة  

Kata-kata tambahan Imam Na-wawi dalam kitab Raudloh pada apa yang ada dalam kitab Fathul Aziz.
11
الروضة

Yang dimaksud bisa Asal Rau-dloh atau Zawaidur Raudloh.
12
فى روضة وأصلها

Tidak ada perbedaan makna antara Ar Raudloh dan Fathul Aziz.
13
فى روضة كأصلها

Ada sedikit perbedaan makna antara Ar Raudloh dan Fathul Aziz.
14
نبه عليه الاذرعي

Keterangan yang disampaikan itu dari perkataan Ashhab Syafi’i bukan dari Imam Adzro’i, beliau cuma mengingatkan saja.
15
كما ذكره الاذرعي

Keterangan yang disampaikan itu adalah dari perkataan Imam Adzro’i sendiri bukan dari perkataan Ashhab Syafi’i.
16
وظاهر كذا (tarkib idhofiy)
Pendapat yang ada adalah keje-lasan pendapat dari perkataan para Ashhab Syafi’i.
17
الفحوى/فحوى الخطاب

Kepahaman hukum dengan jalan pasti. Contoh: haramnya memu-kul orang tua, yang dipaham dari haramnya berkata “ah” pada o-rang tua.
الفحوى / فحوى الخطاب adalah
مفهوم أولى yaitu satu dari dua bagian مفهوم موافقة, sedangkan bagian yang lainnya adalah مفهوم مساوى. Contoh: haramnya mem-bakar harta anak yatim, dipaham dari haramnya memakan harta anak yatim karena sama-sama bentuk itlaf (merusak/menghi-langkan).
18
المقتضى / القضية

Keterangan yang ada adalah hukum tidak shorih yang di-paham dari suatu perkataan.
19
زعم

Memakai arti lafadz “قال” dan kebanyakan digunakan dalam keraguan.
20
قال
قال dalam hadits memakai arti أشار karena itulah setelahnya terdapat kata  هكذا.
قال di selain hadits memakai arti أخذ karena itulah muta’addinya sama dengan أخذ .
21
أقول,  قلت

Perkataan yang disampaikan adalah perkataan yang khusus bagi yang berkata (pendapat pribadi).
22
حاصله,  محصله,  تحريره,  تنقيحه
Ada kekurangan dalam asalnya atau merupakan sebuah sisipan yang termuat di dalam asalnya.
23
حاصله, محصله, تحريره,  تنقيحه

Selain   محصله digunakan juga un-tuk mentafshil keterangan yang masih global. Sedangkan محصله digunakan untuk seba-liknya yaitu mengglobalkan.
24
ينزل منزلته

Digunakan untuk menempatkan sesuatu yang tinggi di tempat se-suatu yang rendah (sebawah-nya).
25
أنيب منابه

Digunakan untuk menempatkan sesuatu yang rendah di tempat sesuatu yang tinggi (seatasnya).
26
أقيم مقامه
Digunakan untuk menempatkan sesuatu yang sama (sederajat).
Ket: Ketika menempatkan se-suatu tidak menggunakan shig-hot yang ada, maka berarti ada suatu nuktah (faidah yang lem-but).
27

تأمل ,  فتأمل
Keduanya digunakan untuk me-nunjukkan samarnya makna a-tau digunakan untuk khodasy (menjelaskan sebuah hujjah).
Menurut Al Buni: تأمل untuk mak-na yang lembut dan فتأمل untuk khodasy.
Menurut Ad Damamini: تأمل un-tuk kuatnya sebuah jawaban, فتأمل untuk lemahnya jawaban dan فليتأمل untuk sangat lemahnya jawaban.
Menurut قيل: تأمل untuk lembut-nya arti,  فتأملuntuk lembutnya arti dan tafshil (perinci), dan فليتأمل untuk lembutnya arti dan lebih terperinci lagi.
28
فى الجملة
Digunakan untuk juz (sebagian), artinya hanya ada dalam seba-gian.
29
بالجملة
Digunakan untuk kulliyyah (se-muanya), artinya ada di seluruh-nya.
Menurut Bal Baqo’: فى الجملة digu-nakan untuk mengglobalkan, se-dangkan بالجملة untuk merinci.
30
جملة القول
Menurut Ash Shobban maksud-nya adalah مجموع القول dalam arti pendapat yang dikumpulkan, bukan qoul yang diglobalkan.
31
اعلم

Digunakan agar mukhotob sung-guh-sungguh mendengarkan, karena apa yang disampaikan adalah hal penting.
32
واعلم
Digunakan agar mukhotob sung-guh-sungguh mendengarkan, karena apa yang disampaikan adalah hal penting, dan ada faidah lain yaitu sebuah peno-lakan yang dikira-kirakan atas pertanyaan yang samar.
33
فاعلم
Digunakan agar mukhotob  sungguh-sungguh mendengar-kan, karena apa yang disam-paikan adalah hal penting, dan ada faidah lain yaitu sebuah perincian setelah global.
34
تعسف
Melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan ulama’ walaupun ada sebagian yang memperbo-lehkannya. Contoh: memakai tembakau menurut yang me-ngatakan haram muthlaq.
Melakukan sesuatu yang tidak ada unsur darurat. Contoh: me-makai sutra bagi laki-laki tanpa adanya darurat.
Menafsirkan kalimat pada mak-na yang tidak jelas dalalahnya (petunjuknya). Contoh: penaf-siran arti خاتم النبيين yang tidak sesuai tafsir para ulama’ yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad bahwa masih ada nabi setelah Nabi Muhammad Saw.
35
تساهل
Penggunaan kalimat yang tidak dianggap salah tetapi dalam penggunaan ini membutuhkan taujih (jalan) untuk mengguna-kannya.
36
تسامح

Penggunaan lafadz untuk makna yang kedua tanpa qorinah ke makna yang kedua, dan tanpa ‘alaqoh (hubungan) antara dua lafadz, cuma berpedoman pada paham yang jelas dengan apa yang dikehendaki. Contoh: sujud syukur, tilawah, dan sahwi dihitung dari sholat padahal tidak masuk dalam definisi sholat.
37
تمحل

Artinya mencari  حيلة(muslihat) agar selamat dari hal yang tidak diperbolehkan dan mencapai tujuan dengan selamat.
حيلة artinya kepintaran mengatur perkara, menggunakan akal se-hingga mencapai tujuan.
38
تأمل
Menggunakan pikiran (sama ar-tinya dengan تفكر).
39
تدبر

Menggunakan hati untuk berfi-kir dalam dalil (berfikir dan me-lihat hasil akhirnya).
40
تدبر Bentuk fi’il amar
Permintaan tadabbur (berfikir).
41
فتدبر bentuk fi’il amar dengan fa’
Berfaidah untuk taqrir (mene-tapkan) dan tahqiq (menyata-kan).
42
اللهم
Sebagai sebuah kata sisipan.
Jawaban sebuah pertanyaan.
Memberi peringatan dan kese-mangatan jika berada setelah perkara yang umum.
43
لو ,  ان

Adat ghoyah yang berfaidah ta’mim (meratakan hukum) jika tidak ada khilaf.
Berfaidah rodd (menolak) jika ada khilaf.
44
لفلان كذا

Apabila tidak dijelaskan apakah pendapat si fulan itu rojih atau lemah, maka pendapat tersebut dihukumi lemah.
45
مجزوم به ,  اتفقوا,
 لا خلاف

Shighot yang diucapkan untuk sesuatu yang berhubungan dengan ahli madzhab, maksud-nya pendapat yang disebutkan telah dimantapkan, disepakati atau tidak ada khilaf diantara ahli madzhab.
46
مجمع عليه

Shighot yang diucapkan untuk sesuatu yang berhubungan de-ngan para Imam, maksudnya pendapat yang disebutkan telah disepakati oleh para Imam.
47
نفي الجواز (meniadakan hukum جواز)  yaitu لا يجوز,  لم يجز
Haram menurut Imam Syiha-buddin Ar Romli.
Ket: Terkadang نفي الجواز juga digunakan dengan arti makruh ketika ada qorinah (indikasi). Contoh: Al Bujairimi juz II hal 228-229, masalah sholat ger-hana.
48
الجواز
Menghilangkan al-haroj (kesem-pitan/dosa).
Maka الجواز bisa berarti:
1.        Wajib. Contoh: I’anah juz II hal. 78, masalah memakai sutra bagi yang perang.
2.        Sunnah. Contoh: I’anah juz II hal. 156, masalah memakai cincin bagi laki-laki.
3.        Makruh. Contoh: I’anah juz II hal 114, masalah mengkafa-ni dengan sutra bagi perem-puan dan bocah.
4.        Mubah. Contoh: Fathul Qorib hal 13, masalah qoshr sholat.
5.        Tidak/belum luzum/tetap dalam aqad/transaksi.
Contoh: Fathul Qorib hal: 34, masalah syirkah.
49
يجوز
Berarti sah (يصح) jika disan-darkan pada aqad.
Berarti halal (يحل) jika disan-darkan pada pekerjaan.
Berarti dua yaitu sah dan halal jika dalam bersuci.
50
نفي الوجوب , نفي اللزوم
لا يجب, لا يلزم,  لم يجب, dan  لم يلزم
Sighot ini mempunyai beberapa arti, yaitu:
1.        Makruh. Contoh: Bujairimi juz I hal. 188, masalah is-tinja’ dari tidur dan kentut.
2.        Jawaz/boleh. Contoh: Tuh-fah pinggir Syarwani juz I hal. 347, masalah tidak tartib/urut antara tayam-mum dan membasuh ang-gota sehat bagi orang junub.
3.        Sunnah. Contoh: Bajuri juz II hal. 129, masalah makan ketika walimatul ‘urs.
4.        Haram. Contoh: I’anah masa-lah puasa bagi perempuan yang sedang haidl atau nifas.
51
لا بأس، لا حرج، لا جناح، لا يضر
Semuanya menggunakan arti ja-waz
52
لا يضر
Memakai arti يغتفر (diampuni). Contoh: I’anah juz I hal. 94.
53
لا جناح
Memakai arti wajib jika berada setelah sebuah larangan.
Contoh: ولا جناح عليه ان يطوف بهما
54
ينبغى
Umumnya digunakan untuk arti sunnah atau wajib dengan jelas atau salah satunya dengan me-lihat qorinah.
Terkadang digunakan dengan arti jawaz dan arti tarjih.
55
لا ينبغى
Digunakan untuk arti haram atau makruh.
56
الاحتياط
Digunakan dengan arti wajib atau sunnah.
57
كما تقدم
Jika dimutlaqkan, maka digu-nakan untuk keterangan yang dekat.
58
كما سبق، كما مضى،  كما مر
Jika dimuthlaqkan, maka se-muanya digunakan untuk kete-rangan yang jauh.
                         




[1] Al Umm, karya Imam Syafi’i, Juz 1 hlm. 3-6
2 Taqrirot Sadidah, karya Syaikh Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith, Juz 1, hlm. 31-33, (Dar al-Ulum al-Islamiyah).
[3] Qutul Habib/Tausyeh, karya Syaikh Nawawi Al Bantani hlm. 17, (Dar al-Kutub al-Islamiyah).
[4] Ianah al-Tholibin, karya Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatho’ Addimyati Al Misry, Juz 1, hlm. 24, (Haramain).

[5] Hasyiah Bujairomi Ala Khotib, karya Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimy, juz 1 hlm. 171, (Haramain).

[6] Taqrirot Sadidah, karya Syaikh Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith, Juz 1 hlm. 33, (Dar al-Ulum al-Islamiyah).

[7] Guruku di Pesantren, karya LPSI Pondok Pesantren Sidogiri. Diterbitkan pada tahun 1420 H

[8] Sadar Istilah, karya Tamatan ‘Aliyah ’15 PP. Mahir ar-Riyadl, Kediri
[9] Sadar Istilah, karya Tamatan ‘Aliyah ’15 PP. Mahir ar-Riyadl, Kediri.
[10] Sadar Istilah, karya Tamatan ‘Aliyah ’15 PP. Mahir ar-Riyadl, Kediri.

Comments

Popular posts from this blog

Tahqiqul Manath dalam Khilafiyah Penyelenggaraan Shalat Jumat

Al IMAN BULUS VERSI MAJALAH HIDAYAH

Apa Bagaimana dan untuk Apa Silaturrahim