Cébong vs Kamprét
Fenomena ini berawal sejak kapan, siapa yang memulai, dan apa tujuannya saya secara pribadi tidak faham ... Katanya si terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014.
Yang jelas pelebelan cébong dan kamprét ditunjukan untuk pendukung masing-masing calon presiden sampai sekarang masih banyaknya digunakan dan terlihat masih sangat masif terutama dimedsos.
Hemat saya umpatan dan penyematan kata cébong atau kamprét yang disematkan kepada seseorang merupakan bentuk kebencian, caci maki, penghinaan atau kekecewaan dan ketidak setujuan dalam masalah pilihan politik, hal ini sangat tidak etis selain ungkapan tersebut menunjukkan sikap kurang menghargai dengan adanya perbedaan pendapat dalam pilihan, juga membangun api permusuhan antar dua kubu serta terlalu kekanak²kan yang minim ide dan gagasan.
Kalau dilihat dari kata yang digunakan (cébong dan kamprét) mempunyai kemiripan dengan yang jamak diungkapkan terutama oleh orang Jawa (asu, celeng dsb) yang mewakili rasa marah, benci kecewa dll.
Lantas bagaimana hukum ungkapan tersebut dilihat dari perspektif agama islam, sebab yang mengucapkan kata² itu ternyata juga tidak hanya orang-orang minim dalam masalah agama. Tapi mirisnya diucapkan juga oleh Ustaz-ustaz bahkan mungkin dimimbar² mereka.
Imam Nawawi dalam al-Adzkar hlm. 577 mengatakan:
ومن الألفاظ المذمومةِ المستعملة في العادة قوله لمن يخاصمهُ: يا حمارُ، يا تيس، يا كلبُ، ونحو ذلك، فهذا قبيح لوجهين: أحدهما أنه كذبٌ، والآخر أنه إيذاءٌ.
Sebagian dari kata-kata tercela yang biasa digunakan sebagai ucapan dalam pertengkaran: Hai Khimar, Hai kambing jantan, Hai Anjing dan semacamnya, ucapan ini adalah ucapan yang buruk karena dua hal: (1) kebohongan (manusia kok dikatakan hewan). (2) Menyakiti.
Muhammad Ali bin Muhammad Allan dalam sayarah al-Adzkar, al-Futuhat ar-Robaniyah berkata:
Ungkapan tersebut menurut Ibnu Hajar dalam kitab Tambihul akhyar adalah Haram.
Dalam adzkar dikatakan ungkapan ( Hai Khimar, Hai kambing jantan, Hai Anjing ) adalah ucapan Buruk karna kebohongan dan menyakiti. Hukum asli dari keduanya( bohong dan menyakiti) adalah haram secara ijma'. Maka bila hukum ungkapan tersebut difahami dengan hukum makruh adalah sangat aneh, bahkan harusnya dijelaskan bahwa hukumnya Makruh Tahrim (makruh yang hukumnya berdosa).
Al-Hafid Assuyuti menjelaskan haramnya merendahkan, mengutuk dan mencaci maki muslim kecuali ada sebab syar'i yang memperbolehkanya.
Walhasil taubatlah berkata cébong atau kamprét, biarkan yang menyandang kata cébong atau kamprét, cébong dan kamprét itu sendiri, jangan dzolimi mereka(cébong dan kamprét) dalam urusan politik dan jangan seret mereka keranah politik mereka sudah tenang didalamnya masing-masing.
Bulus, 10 Desember 2018
M Hanif Rahman
Santri Ponpes Al-Iman Bulus
Comments
Post a Comment